__temp__ __location__
Semakmur Banner
`
Pancasila: Bukan Meniru, Tapi Meramu Jati Diri Bangsa

Muhammad Kholid Syaifullah (Mahasiswa Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Universitas Mulawarman)

Pancasila: Bukan Meniru, Tapi Meramu Jati Diri Bangsa

Oleh: Muhammad Kholid Syaifullah  
Mahasiswa Akhir Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Universitas Mulawarman

Malam tadi, saya menyimak sebuah cuplikan video Rocky Gerung yang diunggah oleh kanal Instagram @totalpolitik. Dalam video tersebut, ia menyatakan bahwa Pancasila bukan produk orisinal bangsa Indonesia, melainkan hasil impor dari pemikiran Barat.

Pernyataan tersebut sontak menimbulkan perdebatan publik di kolom komentar ada yang menyambutnya sebagai keberanian intelektual yang menggugat kenyamanan ideologis, namun tak sedikit pula yang mengecamnya sebagai bentuk pelecehan ataupun penghinaan terhadap dasar negara yang telah menjadi fondasi kebangsaan sejak 1945.

Bagi saya pribadi, yang sedang menapaki hari-hari terakhir sebagai mahasiswa Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) di Universitas Mulawarman, pernyataan itu menjadi pemicu perenungan yang mendalam. Di tengah persiapan untuk sidang seminar pendadaran esok hari, pernyataan itu membuat saya merasa perlu menuliskan respons ini bukan dalam nada marah, melainkan sebagai ikhtiar intelektual dan tanggung jawab akademik.

Tulisan ini saya hadirkan bukan untuk membela Pancasila secara buta, tetapi untuk mencoba menjelaskan bahwa Pancasila bukan tiruan atau salinan dari luar, melainkan buah dari pergulatan sejarah dan kebudayaan bangsa ini sendiri sebuah racikan jati diri Indonesia yang meramu nilai-nilai lokal dan universal dengan khas.

Pancasila: Roh Kolektif Nusantara

Jika kita bedah satu per satu sila dalam Pancasila, akan terlihat bahwa nilai-nilainya tidak berdiri dalam ruang hampa. Ia merupakan hasil perenungan mendalam atas konteks Indonesia

Sila Pertama: Semakin dalam saya menelusuri studi lintas disiplin, dari antropologi budaya, sejarah Nusantara, hingga hukum adat, semakin saya yakin bahwa sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, bukanlah hasil adopsi ideologi asing, apalagi sekadar kutipan dari filsafat Barat. Nilai Ketuhanan yang diangkat dalam Pancasila justru tumbuh dari akar kultural bangsa ini sendiri, yang telah hidup dan mentradisi jauh sebelum agama-agama besar seperti Hindu, Buddha, Islam, dan Kristen menyebar luas di negara kepulauan ini.

Saya masih ingat salah satu diskusi kelas antropologi yang diampu oleh Prof. Bahzar guru besar yang kini menjabat sebagai Wakil Rektor III Universitas Mulawarman. Dalam perkuliahan itu, kami membahas bagaimana sistem religi masyarakat Nusantara bertumbuh dan berkembang, sistem religi nusantara bukanlah entitas luar, tetapi konstruksi sosial yang organik dan berakar dalam relasi manusia dengan alam semesta

Antropolog terkemuka Indonesia, Koentjaraningrat, menyatakan bahwa hampir semua kelompok etnis di Indonesia telah mengenal bentuk sistem kepercayaan yang meyakini kekuatan spiritual tertinggi baik disebut Tuhan, roh leluhur, atau dewa utama. Artinya, nilai Ketuhanan sudah sejak lama hidup dalam struktur sosial, mitologi, dan hukum adat kita, bukan sesuatu yang didiktekan dari luar.

Lihat saja bagaimana masyarakat adat di berbagai daerah merumuskan konsep Ketuhanan dalam ekspresi budaya mereka. Di Minangkabau, ada semboyan “adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah” yang menegaskan keterkaitan antara hukum adat dan nilai Ilahiah. Di tanah Jawa, filosofi “Sangkan Paraning Dumadi” menggambarkan kesadaran spiritual tentang asal dan tujuan manusia. Di Bali, masyarakat menyebut Tuhan dengan nama Sang Hyang Widhi Wasa suatu ekspresi Ketuhanan yang lahir dari kearifan lokal dan kosmologi spiritual yang khas.

Maka, anggapan bahwa sila pertama adalah produk Barat jelas tidak berdasar. Justru, para pendiri bangsa kita merumuskan sila Ketuhanan berdasarkan nilai-nilai yang telah hidup dan mengakar kuat di tengah masyarakat Indonesia sejak zaman dahulu. Mereka tidak mengimpor gagasan, melainkan menyuling warisan lokal menjadi rumusan filosofis kebangsaan.


Sila Kedua: Sebagai mahasiswa akhir Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, saya memaknai sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, bukan sekadar susunan kata yang terdengar indah. Ia adalah nilai yang lahir dari kenyataan sosial bangsa ini nilai yang tumbuh dari tanah adat, tradisi, dan cara hidup masyarakat Indonesia jauh sebelum konsep "humanisme" dikenal dalam filsafat Eropa.

Saya menemukan bahwa banyak kebudayaan lokal telah merumuskan sendiri konsep "manusia beradab" dengan istilah dan praktik yang kaya makna. Orang Jawa mengenal tepa slira, orang Bugis menjunjung tinggi siri’ na pacce, orang Minang memegang teguh prinsip “elok basamo, indak elok bakacang”. Semua itu menunjukkan betapa beradabnya manusia Indonesia di mata budayanya sendiri, bagaimana soal menghargai sesama, menjaga martabat, dan bersikap welas asih dalam kehidupan sosial

Dari semua itu, saya semakin meyakini bahwa nilai kemanusiaan dalam Pancasila bukanlah hasil pinjaman dari Barat, melainkan sublimasi dari kekayaan etika lokal yang telah hidup dan diwariskan secara turun-temurun. Ia bukan datang dari luar, tapi lahir dari dalam, dari naluri kolektif bangsa ini untuk menjunjung harkat dan martabat manusia dalam bingkai kebersamaan.


Sila Ketiga: Sebagai mahasiswa PPKn, saya memahami bahwa Persatuan Indonesia bukan hanya sebuah slogan pemersatu dalam konstitusi, tetapi sebuah nilai kebudayaan yang telah mengakar dalam sejarah panjang Nusantara. Ketika Bung Karno merumuskannya dalam sidang BPUPKI, beliau tidak sedang memperkenalkan ide baru, melainkan menyampaikan roh kolektif bangsa Indonesia yang sudah hidup jauh sebelum negara ini bernama "Indonesia".

Saya belajar bahwa semangat persatuan di Nusantara telah muncul sejak era kerajaan-kerajaan kuno. Dalam pelajaran sejarah, kita mengenal bagaimana Majapahit di bawah Patih Gajah Mada menyatukan wilayah-wilayah dari Sumatra hingga Papua melalui Sumpah Palapa. Bukan hanya kekuasaan, tetapi cita-cita tentang kesatuan politik dan kebudayaan mulai dirintis sejak abad ke-14.

Namun jauh sebelum itu, dalam masyarakat adat, nilai-nilai kolektivitas dan kesadaran akan “kita” (bukan hanya “aku”) telah tumbuh subur. Koentjaraningrat menyebut bahwa masyarakat Indonesia pada dasarnya adalah masyarakat komunal, bukan individualis. Mereka menekankan kebersamaan, musyawarah, dan hidup berdampingan sebagai nilai utama.


Di Minangkabau, dikenal pepatah “Duduak samo randah, tagak samo tinggi” yang berarti setara dalam posisi sosial demi keharmonisan. Di Bali, konsep “Desa Kala Patra” mengajarkan bahwa individu harus menyesuaikan diri demi keharmonisan kolektif. Dalam sistem kampung adat Jawa, dikenal istilah “rukun” sebagai nilai tertinggi yang harus dijaga melebihi kepentingan pribadi.

Konsep ini sejalan dengan semangat Persatuan Indonesia, sebuah persatuan yang bukan dipaksakan, tetapi dilandasi oleh semangat kesukarelaan untuk hidup bersama dalam perbedaan. Bahkan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang diambil dari kitab Sutasoma karya Mpu Tantular di abad ke-14, sudah menggambarkan kesadaran bangsa ini bahwa persatuan tidak harus berarti keseragaman, melainkan kesediaan menerima keberagaman dalam ikatan kebangsaan.

Saya menyadari bahwa persatuan dalam konteks Indonesia bukanlah bentuk nasionalisme homogen seperti di Barat. Kita tidak menyatukan bangsa berdasarkan ras, agama, atau bahasa tunggal, tetapi melalui kesepakatan sosial yang disebut "Indonesia". Maka Sila Ketiga bukan hanya pernyataan politik, tapi refleksi budaya Indonesia yang sejak dulu hidup dalam semangat kebersamaan di tengah keberagaman.
Sebagai mahasiswa akhir, saya merasa panggilan moral itu sangat relevan hari ini, ketika persatuan kembali diuji oleh polarisasi, politik identitas, dan perpecahan sosial. Persatuan Indonesia tidak akan bertahan hanya dengan seremoni bendera, tapi dengan keberanian menjaga semangat gotong royong kebangsaan sebagaimana telah diwariskan oleh leluhur kita


Sila Keempat: Memasuki pemahaman terhadap Sila Keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, saya semakin sadar bahwa Pancasila tidak sedang mengimpor gagasan demokrasi dari Barat, melainkan menyuarakan demokrasi dalam napas keindonesiaan. Demokrasi dalam Pancasila bukanlah demokrasi liberal yang menekankan suara mayoritas semata, melainkan demokrasi yang berakar pada hikmah, musyawarah, dan etika kolektif.

Dalam berbagai kajian di bangku kuliah, saya mempelajari bagaimana nilai permusyawaratan telah hidup lama dalam sistem sosial masyarakat Indonesia. Di desa-desa Jawa, misalnya, dikenal forum rembug desa, tempat warga bermusyawarah untuk memutuskan urusan bersama secara mufakat. Dalam masyarakat Minang, dikenal musyawarah adat di balai, yang melibatkan ninik mamak dan pemuka adat dalam pengambilan keputusan komunitas.

Konsep ini juga dekat dengan tradisi Islam dalam masyarakat Muslim Indonesia, yang mengenal syura (musyawarah) sebagai prinsip penting dalam pengambilan keputusan. Dalam banyak komunitas pesantren dan ormas Islam seperti Nahdlatul Ulama atau Muhammadiyah, tradisi permusyawaratan menjadi bagian dari tata kelola organisasi yang mendarah daging.

Hal yang menarik bagi saya adalah bahwa dalam demokrasi Barat, pengambilan keputusan cenderung berbasis voting dan kuantitas suara, sedangkan dalam tradisi lokal Indonesia, musyawarah tidak hanya mencari keputusan yang cepat, tapi mengejar kesepakatan yang bijaksana dan memelihara harmoni sosial. Inilah yang disebut Bung Karno sebagai “demokrasi dengan kepribadian Indonesia” bukan demokrasi gaduh yang mengutamakan menang-kalah, tapi demokrasi yang mengutamakan hikmat dan keadaban.

Lebih jauh, Soepomo, tokoh perumus konstitusi, menekankan pentingnya "integralistik state", di mana negara tidak mengutamakan individu atau golongan, melainkan kepentingan bersama yang dicapai melalui permusyawaratan. Ini sangat berbeda dari konsep negara liberal individualis ala Barat yang menjadikan hak individu sebagai poros utama
.
Dalam praktik kekuasaan tradisional pun, kerajaan-kerajaan Nusantara seperti Mataram, Ternate, dan Gowa memiliki lembaga penasihat atau majelis adat yang fungsinya mirip dengan parlemen lokal meski belum demokratis dalam arti modern, tetapi menunjukkan bahwa kepemimpinan yang bijaksana dan berbasis konsultasi telah lama dikenal dalam sistem kekuasaan lokal kita.

Bagi saya, sebagai mahasiswa yang akan segera meninggalkan bangku akademik, pelajaran paling berharga dari sila keempat adalah bahwa rakyat tidak cukup hanya memilih, tetapi juga harus didengarkan.

Demokrasi tidak berhenti pada bilik suara, tapi terus hidup dalam forum musyawarah, di ruang-ruang diskusi warga, dan dalam keberanian pemimpin untuk mendengar suara yang paling lemah dan selama ini terpinggirkan.


Sila Kelima: Menutup perenungan saya atas Pancasila sebagai ideologi bangsa, saya ingin menaruh penekanan khusus pada Sila Kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Bagi saya pribadi sebagai mahasiswa akhir PPKn, sila ini terasa paling konkret sekaligus paling rumit. Ia menjanjikan keadilan, tetapi sering kali bertemu kenyataan yang tidak adil.

Namun secara historis dan kultural, saya yakin bahwa nilai keadilan sosial bukanlah ide baru yang datang dari sosialisme Barat, melainkan nilai lama yang telah mengakar dalam sistem sosial dan ekonomi masyarakat Nusantara.

Dalam masyarakat adat, saya belajar bahwa prinsip keadilan diwujudkan dalam mekanisme distribusi hasil secara kolektif. Di Bali, sistem subak mencerminkan keadilan kolektif dalam pengelolaan irigasi, berbasis musyawarah dan kesetaraan antarpetani. Di Minangkabau, ladang kaum menunjukkan bahwa tanah adalah amanah bersama untuk kesejahteraan keluarga besar.

Di Jawa, praktik lungguh dan bondo desa merupakan bentuk awal redistribusi aset desa demi kepentingan sosial, jauh sebelum negara kesejahteraan dikenal. Di Kalimantan Timur, masyarakat Dayak menjunjung tinggi nilai handep kerja sama dan pembagian hasil yang adil dalam ladang komunal.

Sementara itu, budaya Kutai mengenal sistem pengelolaan lahan bersama yang hasilnya didistribusikan melalui musyawarah adat untuk kepentingan kampung. Semua ini membuktikan bahwa prinsip keadilan sosial telah lama hidup dalam budaya Nusantara, bukan sekadar adopsi gagasan modern

Saya juga membaca bagaimana dalam sistem hukum adat, prinsip keadilan bukan hanya berarti setara di mata hukum, tetapi juga proporsional dan berperasaan. Sanksi adat tidak dimaksudkan untuk menghukum semata, melainkan untuk memulihkan keseimbangan sosial dan menghindari dendam.

Falsafah seperti gemah ripah loh jinawi dalam budaya Jawa mencerminkan impian akan masyarakat yang makmur, damai, dan sejahtera bersama. Ini bukan utopia, tapi ekspresi dari cita-cita keadilan kolektif. Bahkan dalam tradisi Islam Nusantara, nilai bagi hasil, zakat, dan wakaf menjadi mekanisme sosial yang mendukung keadilan ekonomi berbasis nilai spiritual dan tanggung jawab sosial.

Secara historis, Bung Hatta yang dikenal sebagai arsitek ekonomi kerakyatan Indonesia menekankan pentingnya koperasi sebagai instrumen ekonomi untuk menciptakan keadilan sosial tanpa jatuh dalam ekstrem kapitalisme atau sosialisme otoriter.

Apa yang saya pelajari dari semua ini adalah bahwa keadilan sosial versi Pancasila bukan sekadar pembagian ekonomi semata, tetapi menyangkut keadilan dalam akses, perlakuan, dan peluang hidup yang bermartabat. Ia mengandung semangat etis, bahwa tak ada kebebasan sejati bila masih ada yang kelaparan, dan tak ada kemajuan sejati bila ada yang tertinggal.

Sebagai mahasiswa yang akan segera lulus, saya merasa bahwa tanggung jawab terbesar justru ada di sini: memperjuangkan keadilan sosial bukan dalam seminar atau wacana, tetapi dalam kehidupan nyata melalui pilihan-pilihan etis, advokasi yang konsisten, dan keberpihakan yang jelas pada yang kecil, yang tertinggal, dan yang terpinggirkan.

Penutup: Renungan Seorang Mahasiswa di Penghujung Studi

Tulisan ini saya selesaikan dalam suasana yang sangat personal. Besok pagi, saya akan menjalani sidang seminar akhir pendadaran, menandai babak penutup saya sebagai mahasiswa Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Universitas Mulawarman.

Mungkin inilah tulisan terakhir saya yang ditulis dengan status sebagai mahasiswa PPKn. Dan saya merasa, tak ada cara yang lebih bermakna untuk menutup masa studi ini selain dengan menghadiahkan sebuah refleksi untuk ideologi yang menjadi jantung keilmuan kami: Pancasila.

Karena Pancasila bukan untuk dihafal. Ia untuk diperjuangkan.
Dan perjuangan itu harus dimulai dari diri sendiri.
 

UMKM Lokal Meriahkan Gelaran “Kita Indonesia” RRI Samarinda
UMKM Lokal Meriahkan Gelaran “Kita Indonesia” RRI Samarinda
Surat Kecil Dari Mahasiswa Kalimantan Timur Untuk Presiden dan Wakil Presiden Terpilih Republik Indonesia
Surat Kecil Dari Mahasiswa Kalimantan Timur Untuk Presiden dan Wakil Presiden Terpilih Republik Indonesia