__temp__ __location__
Semakmur Banner
`
Mengusut Dalang di Balik Kerusuhan Nasional Agustus 2025

Mengusut Dalang di Balik Kerusuhan Nasional Agustus 2025

Madanika.id, SAMARINDA - Gelombang aksi demonstrasi melanda berbagai daerah di Indonesia pada pekan terakhir Agustus 2025, dipicu tuntutan evaluasi kinerja dan tunjangan fantastis anggota DPR. Aksi damai mahasiswa, buruh, dan masyarakat yang dimulai di Jakarta pada 25 Agustus awalnya berjalan tertib, namun memanas setelah insiden tewasnya Affan Kurniawan (21), seorang pengemudi ojek online, yang dilindas kendaraan taktis Brimob di tengah demonstrasi di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. Kematian Affan pada 28 Agustus menyulut kemarahan publik dan memicu gelombang protes lanjutan di berbagai kota, termasuk Bandung, Makassar, Kediri, Solo, Surabaya, hingga Yogyakarta pada 29-30 Agustus 2025.

Aksi massa di berbagai daerah tersebut awalnya menyuarakan aspirasi secara damai, namun berakhir ricuh. Sejumlah fasilitas umum, gedung DPRD, kantor polisi, bahkan rumah pribadi pejabat menjadi sasaran perusakan dan pembakaran. Pada 30-31 Agustus, terjadi aksi penjarahan di kediaman beberapa pejabat tinggi, antara lain rumah Menteri Keuangan Sri Mulyani serta rumah anggota DPR Ahmad Sahroni, Uya Kuya, Eko Patrio, dan Nafa Urbach. Kelompok massa dalam jumlah besar merusak properti dan mengambil barang berharga di rumah-rumah pejabat tersebut, termasuk menjarah uang, brankas, sertifikat, bahkan hewan peliharaan milik Eko Patrio. Fenomena penyerbuan rumah pejabat ini terkesan terorganisir dan tidak dilakukan warga setempat, menimbulkan tanda tanya di kalangan aktivis akan adanya aktor tersembunyi di balik kerusuhan.

Situasi darurat memaksa pemerintah bergerak cepat. Presiden Prabowo Subianto pada 31 Agustus menggelar sidang kabinet darurat dan memerintahkan Polri dan TNI bertindak tegas untuk memulihkan keamanan. Ribuan personel keamanan dikerahkan di kota-kota rawan, sementara akses internet di sekitar lokasi demo dibatasi. Pada 1 September, Presiden melalui Menhan juga menginstruksikan Badan Intelijen Negara (BIN) memantau situasi dan melaporkan perkembangan di lapangan. TNI pun diturunkan untuk membantu Polri menjaga objek vital, meski belakangan Wakil Panglima TNI Jenderal Tandyo Budi Revita menegaskan TNI tidak pernah membiarkan penjarahan terjadi; mereka baru bergerak setelah mendapat perintah resmi Presiden pada 31 Agustus. Pernyataan ini disampaikan untuk membantah anggapan sebagian pihak bahwa aparat sengaja membiarkan kerusuhan meluas.

Jejak Provokator & Dugaan Dalang Terorganisir

Seiring merembetnya kerusuhan di berbagai daerah, muncul indikasi kuat adanya peran provokator terorganisir yang menunggangi aksi massa. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhamad Isnur mengungkapkan pihaknya mencium kejanggalan dalam pola kerusuhan akhir Agustus tersebut. Ia membandingkan insiden perusakan dan penjarahan ini dengan kerusuhan bersejarah seperti Mei 1998, Poso, Banyuwangi, hingga Ambon, di mana ada metode provokasi sistematis oleh aktor kekuasaan untuk memancing kerusuhan massal. Menurut Isnur, demonstran murni sejatinya turun secara damai menyuarakan pendapat yang dijamin konstitusi; karenanya ketika terjadi tindakan anarkis meluas dan terkoordinasi, patut diduga hal itu ulah kelompok provokator yang sengaja disusupkan. Ia menegaskan provokator tersebut berbeda dari massa aksi asli – mereka bekerja lebih sistematis dan bukan bagian dari warga yang benar-benar memperjuangkan aspirasi.

Tanda-tanda adanya dalang tersembunyi terlihat dari cara kerusuhan berlangsung. Penjarahan rumah pejabat, misalnya, dilakukan oleh kelompok yang datang dari luar, bukan warga sekitar, sehingga menimbulkan kesan aksi yang sengaja diatur. Aktivis khawatir strategi semacam ini ditujukan untuk mendelegitimasi gerakan protes dan mencoreng aspirasi rakyat yang sebenarnya damai, sehingga memberikan pembenaran bagi aparat untuk bertindak represif. Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan: Presiden Prabowo sendiri mengeluarkan pernyataan keras bahwa aksi-aksi anarkis tidak akan ditoleransi dan mengisyaratkan ada gejala tindakan melawan hukum yang mengarah pada makar dan terorisme di balik gelombang demo tersebut. Narasi adanya ancaman subversif ini dikhawatirkan dapat dijadikan dalih untuk tindakan keras aparat dan pengetatan keamanan, sehingga ruang kebebasan sipil terancam menyempit.

Dalang: Orang Dalam Kekuasaan atau Aktor Asing?

Spekulasi mengenai siapa dalang di balik kerusuhan ini terbagi dalam beberapa versi. Ferry Irwandi, seorang konten kreator dan pengamat media sosial, membuat pernyataan menghebohkan bahwa provokator sebenarnya bukanlah mahasiswa, buruh, apalagi elemen asing, melainkan berasal dari lingkaran kekuasaan itu sendiri. Dalam video analisis yang diunggah 31 Agustus 2025, Ferry mengaku telah membantu intelijen pemerintah dengan menelusuri jejak digital sejumlah akun media sosial yang diduga terlibat. “Clue-nya, Pak, bukan dari asing. Dari kekuasaan itu sendiri, Pak,” ujarnya, seraya menyebut motifnya berakar pada ketamakan, rasa sakit hati, dan hasrat ingin lebih berkuasa. Ferry bahkan membeberkan beberapa akun Twitter (X) yang perlu diselidiki lebih lanjut – antara lain akun bernama Heraloebs, Tekarok007, Mas_Veel, dan Ndrews Tjan – karena keterkaitannya dalam menyebarkan narasi provokatif dan melakukan doxing terhadap pihak-pihak tertentu. Berdasarkan afiliasi dan rekam jejak digital akun-akun tersebut, Ferry menduga kuat ada keterhubungan dengan aktor politik tertentu yang tengah “bermain” di balik layar demi ambisi kekuasaan. Temuan ini mengarahkan kecurigaan bahwa faksi internal elite politik mungkin terlibat mengatur kerusuhan – entah untuk melemahkan lawan politik, mengalihkan isu, atau memperkuat posisinya sendiri di panggung kekuasaan.

Di sisi lain, muncul pula narasi campur tangan asing sebagai dalang kerusuhan. Mantan Kepala BIN A.M. Hendropriyono secara terbuka menuding bahwa demo rusuh 25 dan 28 Agustus ditunggangi aktor luar negeri. Seusai menghadiri pertemuan di Istana Negara (28/8), Hendropriyono menyatakan ia mengetahui pihak yang “bermain” tersebut, namun enggan mengungkap detailnya saat itu. “Itu dari luar,” tegasnya, seraya menjelaskan bahwa “orang luar” menggunakan kaki tangan di dalam negeri untuk menggerakkan kerusuhan, bahkan kemungkinan banyak pion lokal tak sadar mereka diperalat. Pernyataan ini sontak menuai kontroversi karena Hendropriyono tidak menyebut secara spesifik negara atau tokoh asing mana yang ia curigai. Spekulasi pun berkembang liar – media milik pemerintah Rusia, Sputnik, misalnya, mengutip “analis geopolitik” yang menuding miliarder George Soros terlibat mendanai gerakan protes tersebut. Tuduhan Sputnik didasari klaim adanya indikasi “pengaruh eksternal” seperti penggunaan simbol bendera anime One Piece di lapangan, yang secara mengada-ada dihubungkan dengan jejaring dana global Soros dan lembaga demokrasi Barat. Meski tudingan semacam ini tidak disertai bukti kuat, narasi konspirasi asing sempat bergaung seiring pernyataan Hendropriyono.

Pandangan tentang dalang kerusuhan yang saling bertolak belakang – “orang dalam” vs “aktor asing” – menunjukkan betapa kompleksnya membaca arah politik kerusuhan Agustus 2025 ini. Kalangan pegiat sipil cenderung skeptis terhadap tudingan campur tangan asing, dan lebih percaya adanya aktor domestik yang bermain, mengingat pola kerusuhan sangat erat dengan konteks politik Indonesia sendiri. Sebaliknya, kubu pendukung pemerintah merasa tidak tertutup kemungkinan kekuatan global berperan, apalagi isu demo muncul ketika Indonesia mengambil langkah politik luar negeri tertentu (misalnya mendekat ke blok BRICS, yang disebut Hendropriyono berlawanan dengan kepentingan Barat). Hingga kini, belum ada bukti definitif yang dipublikasikan tentang dalang sesungguhnya; baik klaim “lingkar kekuasaan” Ferry Irwandi maupun tudingan “aktor asing” Hendropriyono masih bersifat dugaan. Aparat keamanan mengaku terus mendalami penyelidikan di kedua arah tersebut.

Langkah Aparat: Penyelidikan, Penangkapan, dan Tuduhan Makar

Pemerintah dan aparat keamanan merespons kerusuhan ini dengan serangkaian langkah penegakan hukum. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menegaskan Polri memburu siapa pun aktor yang membiayai dan menghasut kerusuhan dalam demo tersebut, seraya mengimbau masyarakat tidak terprovokasi. Polda Metro Jaya segera membentuk Satgas Gakkum Anti Anarkis untuk menyelidiki penyebab kericuhan dan menangkap provokator di lapangan. Hasilnya, enam orang ditetapkan sebagai tersangka provokator kerusuhan di Jakarta pada aksi 25 dan 28 Agustus. Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol. Ade Ary mengungkap inisial keenam tersangka: DMR, MS, SH, KA, RAP, dan FL, yang diduga menyebarkan hasutan via media sosial guna mendorong pelajar dan anak-anak melakukan tindakan anarkis. Terungkap kemudian bahwa dua di antaranya adalah Delpedro Marhaen (DMR) – Direktur Utama Lokataru Foundation, sebuah organisasi advokasi hukum dan HAM – serta MS, staf di LSM tersebut. Empat tersangka lain merupakan admin akun media sosial yang aktif mengajak vandalisme, bahkan memberi tutorial membuat bom molotov secara live streaming yang banyak ditonton remaja. Salah satu tersangka berinisial RAP diketahui berperan sebagai koordinator pembawa bom molotov ke lokasi demo.

Menurut polisi, Delpedro Marhaen (DMR) selaku admin Instagram Lokataru Foundation berkolaborasi dengan akun-akun lain menyebarkan ajakan berbuat rusuh melalui berbagai tagar dan unggahan. Tersangka MS mengelola akun IG @bpp dan turut menyebar ajakan perusakan. Adapun tersangka SH (admin IG @GM) dan KA sama-sama diduga menghasut publik untuk melakukan perusakan fasilitas. Polisi menuduh para aktivis ini melanggar pasal-pasal penghasutan dalam KUHP dan UU ITE, karena konten unggahan mereka dianggap memicu kericuhan berbahaya bagi ketertiban umum. Pihak kepolisian menegaskan penetapan status tersangka tersebut sudah melalui penyelidikan intensif sejak 25 Agustus, seiring meletusnya demo rusuh pertama di kompleks DPR. Langkah tegas ini juga dibarengi narasi dari pejabat pemerintah bahwa di balik kerusuhan terdapat indikasi aksi makar. Presiden Prabowo dalam konferensi pers 31 Agustus menyatakan tidak menutup mata terhadap aspirasi murni rakyat, namun mengendus gejala tindakan di luar hukum yang mengarah pada upaya makar dan terorisme sehingga negara akan bertindak tegas.

Namun, penangkapan aktivis Lokataru dan lainnya memicu kritik tajam dari kelompok masyarakat sipil. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengecam langkah polisi yang dinilai keliru dan salah sasaran. “Bebaskan Pedro, Syahdan, dan lainnya. Penangkapan itu salah sasaran. Seharusnya yang ditangkap adalah para pelaku kerusuhannya, bukan aktivis seperti Pedro dan Syahdan,” ujarnya, merujuk pada Delpedro Marhaen dan Syahdan Husein (aktivis yang ditangkap di Bali). Para pegiat HAM berargumen bahwa unggahan media sosial mengkritik pemerintah bukan berarti dalang kerusuhan, dan penggunaan pasal penghasutan yang bersifat karet dikhawatirkan malah membungkam kebebasan berekspresi. Usman Hamid mendesak pemerintah lebih bijak: alih-alih buru-buru menyasar aktivis, ia mendorong pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) independen untuk mengusut tuntas seluruh pelaku dan dalang kerusuhan, termasuk dugaan keterlibatan oknum aparat keamanan dalam sejumlah insiden.

Aparat TNI dan Polri sendiri membantah keras tudingan semacam itu. TNI memastikan mereka bertindak sesuai prosedur dan konstitusi, baru turun tangan setelah adanya permintaan resmi untuk perbantuan pengamanan. Wakil Menhan Donny Ermawan menegaskan tindakan kekerasan dalam demo tak bisa ditoleransi, dan mengimbau masyarakat tidak terprovokasi oleh penyusup yang menunggangi aksi untuk melakukan anarki. Ia juga mengingatkan bahwa TNI-Polri siap menindak tegas pelaku kekerasan, sesuai arahan presiden. Sementara itu, Polri menyatakan proses hukum terhadap tersangka provokator akan dilakukan transparan. Rangkaian konferensi pers digelar untuk membeberkan bukti peran para provokator (termasuk rekaman unggahan hasutan dan identitas akun-akun anonim) demi meyakinkan publik bahwa langkah polisi bukan kriminalisasi sembarang orang, melainkan penegakan hukum terhadap aktor intelektual kerusuhan. Meski demikian, perdebatan soal siapa “dalang sebenarnya” masih jauh dari usai – kasus ini berpotensi berkembang ke ranah persidangan, di mana fakta-fakta peran setiap tersangka akan diuji secara terbuka.

Motif di Balik Kerusuhan: Kekuasaan, Ekonomi, atau Sosial?

Apabila menelaah berbagai dugaan dalang di atas, motif di balik kerusuhan Agustus 2025 dapat ditinjau dari beberapa sudut. Pertama, jika skenario aktor dalam lingkaran kekuasaan yang bermain, seperti analisis Ferry Irwandi, maka motif utamanya diduga berupa ambisi politik dan perebutan kekuasaan. Ferry menyebut faktor keserakahan dan rasa sakit hati – indikasi adanya faksi elite yang merasa tidak puas dengan pembagian kekuasaan saat ini, lantas mencoba menciptakan kekacauan untuk mencapai tujuan politiknya. Ini bisa berarti upaya menggoyang stabilitas pemerintahan Presiden Prabowo dari dalam, semisal oleh oknum koalisi yang tersisih, atau justru manuver pihak di sekitar presiden untuk memperkuat legitimasi melalui pendekatan tangan besi. Motif internal semacam ini pernah tercermin dalam sejarah politik Indonesia, ketika pergolakan dibuat seolah-olah oleh rakyat, padahal ada “aktor intelektual” di balik layar demi kepentingan kekuasaan tertentu.

Kedua, jika hipotesis campur tangan asing yang benar, motifnya bisa terkait kepentingan geopolitik dan ekonomi global. Hendropriyono mengaitkan kewaspadaan pada “aktor luar” dengan dinamika posisi Indonesia di kancah internasional (misalnya hubungan dengan Amerika Serikat vs blok BRICS). Bisa jadi, menurut pandangan ini, kerusuhan diorkestrasi untuk mengganggu stabilitas nasional Indonesia agar agenda luar tertentu tercapai – misalnya menggagalkan kebijakan ekonomi Indonesia yang tak selaras kepentingan Barat, atau sekadar melemahkan pemerintah pro-nasionalis. Tudingan mengarah ke tokoh seperti Soros atau lembaga seperti National Endowment for Democracy (NED) menggambarkan motif “demokratisasi semu” dari luar yang dituduhkan ingin menciptakan People Power di Indonesia. Meski hingga kini bukti konkret motif asing ini belum terlihat, skenario tersebut membawa implikasi serius: jika benar, berarti Indonesia menjadi ajang proxy war baru, dan respons pemerintah pun kemungkinan akan sangat tegas terhadap kelompok yang dicurigai berhubungan dengan agenda asing.

Ketiga, ada pula motif yang lebih pragmatis terkait ekonomi dan kesempatan kriminal. Dalam situasi chaos, tak dapat dipungkiri sebagian orang memanfaatkannya untuk keuntungan pribadi. Aksi penjarahan rumah pejabat, misalnya, bisa jadi murni motif ekonomis – memanfaatkan kemarahan massa untuk menutupi tindakan kriminal pencurian. Namun, melihat pola terorganisir (komplotan membawa mobil bak untuk angkut barang, dsb.), motif ekonomi saja kurang menjelaskan tanpa ada provokator penggerak. Bisa jadi provokator menawarkan iming-iming materi kepada para pelaku di lapangan (misal bayaran kepada pemuda-pemuda untuk membuat onar), sehingga terjadi simbiosis: provokator mendapat kerusuhan yang diinginkan, pelaku mendapat barang jarahan atau bayaran. Polisi sendiri mendalami kemungkinan pendanaan kerusuhan oleh pihak tertentu; Kapolri mengindikasikan ada yang menyiapkan logistik dan dana bagi para perusuh, dan aspek ini tengah ditelusuri lebih lanjut.

Menariknya, motif lain justru datang dari pihak pemerintah: beberapa analis menilai kerusuhan ini akhirnya dijadikan momentum introspeksi bagi para pejabat. Tuntutan awal demo soal tunjangan DPR yang dianggap terlalu tinggi ternyata mulai direspons pascakerusuhan. Pemerintah mengindikasikan bakal meninjau ulang besaran tunjangan anggota DPR, bahkan muncul usulan agar sebagian tunjangan dialihkan untuk kesejahteraan publik seperti insentif guru honorer dan bantuan siswa kurang mampu. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti menyatakan telah mengusulkan kenaikan insentif honorer dari Rp300 ribu menjadi Rp500 ribu per bulan, sebagai imbas tuntutan masyarakat dalam demonstrasi tersebut. Ini menunjukkan bahwa di balik kerusuhan yang tragis, ada motif positif yang diharapkan tercapai: reformasi kebijakan untuk lebih pro-rakyat. Tentu saja, hal ini berkat desakan massa aksi damai, bukan para provokatornya. Namun jika provokasi dan kerusuhan tidak terjadi, barangkali tuntutan rakyat tak mendapat perhatian secepat ini. Dalam arti tertentu, provokator mungkin berniat buruk, tapi pemerintah justru mengambil pelajaran untuk melakukan perubahan demi meredam kemarahan publik.

Dampak Sosial-Politik dan Ekonomi Pasca Kerusuhan

Kerusuhan nasional pada akhir Agustus 2025 meninggalkan dampak besar di berbagai sektor. Dari segi kemanusiaan, data Komnas HAM mencatat 10 orang tewas dalam rangkaian demonstrasi rusuh di berbagai wilayah. Para korban jiwa tersebar di Jakarta (termasuk Affan Kurniawan dan seorang pelajar), Yogyakarta, Solo, dan daerah lain. Selain itu, lebih dari 1.600 orang – mayoritas pelajar dan pemuda – ditangkap dan ditahan selama periode 25 Agustus hingga 1 September. Komnas HAM mengindikasikan kuat bahwa mayoritas korban tewas disebabkan tindakan kekerasan aparat (seperti tertembak peluru karet di jarak dekat atau benturan saat pembubaran paksa), meskipun investigasi lanjutan masih berlangsung. Temuan ini telah mendorong Komnas HAM meminta pertanggungjawaban aparat, dan pemerintah menjanjikan penyelidikan transparan terhadap insiden seperti Affan Kurniawan yang tewas dilindas rantis.

Secara sosial, trauma dan ketakutan menyelimuti warga di kota-kota yang terdampak. Selama beberapa hari, aktivitas ekonomi lumpuh lebih awal; pusat perbelanjaan tutup, transportasi publik dibatasi, dan masyarakat diimbau menghindari kerumunan. Layanan ojek online sempat menonaktifkan area-area tertentu demi keamanan driver, menunjukkan tingkat kecemasan akan situasi yang bisa tiba-tiba memburuk.

Dampak politik juga signifikan. Kerusuhan ini menjadi ujian besar bagi pemerintahan Presiden Prabowo yang baru menjabat kurang dari satu tahun. Oposisi politik mengecam lambannya antisipasi aparat di awal kejadian, sementara pendukung pemerintah menegaskan langkah tegas diperlukan agar negara tidak dianggap lemah. Isu dalang kerusuhan pun menjadi komoditas politik: kubu pro-pemerintah cenderung mengamini narasi adanya konspirasi asing atau gerakan makar, sedangkan kubu kritis menyoroti kemungkinan intrik internal dan blunder pemerintah sendiri. Gelombang protes ini juga mempererat solidaritas kelompok civil society; berbagai organisasi seperti YLBHI, Amnesty, hingga PBNU kompak mengawal kasus penangkapan aktivis dan mendesak penegakan hukum yang adil. Sementara itu, DPR sebagai lembaga yang menjadi sasaran kritik utama, mendapat tekanan untuk berbenah. Beberapa anggota DPR menyatakan kesediaan untuk memotong gaji/tunjangan, dan ada fraksi (contoh: Partai Nasdem) yang secara simbolis mengusulkan pemberhentian pembayaran tunjangan bagi anggota DPR yang rumahnya dijarah, sebagai bentuk empati pada situasi krisis.

Secara ekonomi, kerugian materiel akibat kerusuhan terbilang besar. Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung mengungkap total kerusakan infrastruktur di Jakarta saja mencapai Rp 55 miliar (sekitar 3,6 juta dolar AS). Angka itu mencakup kerusakan puluhan halte bus, lampu lalu lintas, pagar Gedung DPR/MPR yang dijebol massa, serta gedung-gedung pemerintah daerah yang dirusak atau dibakar. Sektor perbankan dan ritel juga terdampak: beberapa bank BUMN menutup sementara kantor cabang di Jakarta imbas demo rusuh, dan pusat perbelanjaan di sejumlah kota melaporkan penurunan penjualan drastis selama akhir Agustus akibat jam operasional dipersingkat. Di media sosial, UMKM mengeluhkan terganggunya distribusi barang karena jalanan diblokir massa maupun aparat. Kepercayaan investor asing sempat goyah melihat instabilitas keamanan, tercermin dari pelemahan IHSG dalam sehari pascakerusuhan (meski berangsur pulih setelah pemerintah menjamin situasi terkendali). Di tingkat akar rumput, para pedagang kecil dan pengemudi transportasi online merugi karena area operasional terbatas oleh status siaga. Pemerintah pusat dan daerah kini dihadapkan pada tugas berat memulihkan kondisi: renovasi fasilitas umum yang rusak sudah dianggarkan, dan stimulus ekonomi lokal disiapkan untuk kawasan terdampak agar aktivitas warga bisa normal kembali.

Dampak jangka menengah lainnya adalah menguatnya diskursus mengenai kepentingan rakyat vs elite. Kerusuhan ini menggarisbawahi betapa kesenjangan aspirasi antara masyarakat (yang menuntut perbaikan ekonomi dan tata kelola) dan kalangan elite (yang dipersepsikan hidup mewah dengan tunjangan tinggi) dapat berujung letupan sosial. Pemerintah tampaknya menyadari hal ini; selain penyesuaian tunjangan DPR, Presiden Prabowo berupaya meredam gejolak dengan menyusun ulang prioritas kebijakan populis. Janji mempercepat pembahasan RUU antikorupsi dan penindakan tegas atas oknum aparat pelanggar HAM disampaikan untuk meraih kembali kepercayaan publik.

Epilog: Mengungkap Dalang Sebenarnya

Hingga awal September 2025, sosok “dalang sebenarnya” di balik kerusuhan nasional akhir Agustus masih menjadi misteri yang perlahan diurai. Aparat telah menangkap sejumlah tersangka provokator, namun banyak pihak yakin mereka hanyalah aktor lapangan belaka. Pertanyaan siapa otak yang menggerakkan para provokator itu tetap terbuka. Apakah skenario Hendropriyono soal “kaki tangan lokal yang digerakkan asing” benar adanya? Ataukah justru benar seperti kata Ferry Irwandi, bahwa ini permainan elite politik dalam negeri yang tamak kekuasaan? Bisa pula kedua-duanya berkolaborasi, atau sebaliknya tidak satupun – mungkin kerusuhan spontan ini kemudian diklaim berbagai pihak demi kepentingan narasi masing-masing.

Yang jelas, berbagai kalangan sepakat bahwa aksi anarkis terencana telah menodai gerakan protes damai rakyat. Kelompok masyarakat sipil menuntut transparansi dan akuntabilitas: jangan sampai dalang sebenarnya luput, sementara kambing hitam justru aktivis atau warga biasa yang kritis pada pemerintah. Tuntutan pembentukan tim investigasi independen mengemuka agar kebenaran terungkap secara objektif. Pemerintah sendiri berada dalam persimpangan: mengusut tuntas dalang kerusuhan berarti mungkin harus berani mengungkap aktor yang tak terduga, yang bisa saja berasal dari kalangan establishment sendiri.

Kerusuhan Agustus 2025 menjadi pelajaran mahal bagi Indonesia. Di satu sisi, ia mengingatkan bahwa ketidakpuasan rakyat yang tidak tertangani bisa meledak kapan saja. Di sisi lain, ia juga menunjukkan adanya taktik kotor politik yang mengancam demokrasi, di mana aspirasi rakyat dikudeta oleh provokasi terorganisir. Masyarakat kini menunggu: akankah dalang sebenarnya terungkap dan dimintai pertanggungjawaban? Ataukah kasus ini perlahan meredup tanpa kejelasan, menyisakan preseden buruk bagi gerakan sosial ke depan? Pemerintahan Presiden Prabowo telah berjanji menghormati kebebasan berpendapat yang damai, seraya menindak tegas perusuh. Janji itu diuji di sini. Jika dalang kerusuhan berhasil diungkap – entah itu aktor asing, elit dalam negeri, oknum aparat, atau siapa pun – dan diadili secara terbuka, maka keadilan dan demokrasi Indonesia selangkah lebih tegak. Namun jika tidak, bayang-bayang pertanyaan “siapa dalangnya?” akan terus menghantui, menambah panjang daftar misteri politik yang tak terpecahkan di negeri ini.

Satu hal yang pasti, publik pantas mendapatkan kebenaran. Tragedi kemanusiaan yang merenggut 10 nyawa ini tidak boleh ditutup begitu saja tanpa mengungkap dalangnya. Seperti kata pepatah, “akal bulus tak akan selamanya bersembunyi di balik kerumunan massa.” Cepat atau lambat, dalang kerusuhan Agustus 2025 akan terkuak – dan ketika itu terjadi, semoga menjadi titik terang menuju Indonesia yang lebih adil dan bebas dari permainan kelam politik kekerasan.

Mendag Budi Santoso Terima Audiensi Depalindo, Bahas Penguatan Ekspor dan Efisiensi Logistik
Mendag Budi Santoso Terima Audiensi Depalindo, Bahas Penguatan Ekspor dan Efisiensi Logistik
Prabowo Subianto Tinjau Lokasi Banjir di Badung, Bali
Prabowo Subianto Tinjau Lokasi Banjir di Badung, Bali