Madanika.id, JAKARTA — Dugaan praktik kekerasan sistematis di balik gemerlap panggung pertunjukan kembali mencuat. Sejumlah mantan performer Oriental Circus Indonesia—yang kini dikenal sebagai Taman Safari Indonesia—angkat suara soal kekerasan fisik dan trauma psikologis yang mereka alami selama bertahun-tahun. Suara mereka, yang sempat tenggelam oleh waktu, kini menggema kembali ke ruang publik.
Bambang Susilo, salah satu korban, mengisahkan dengan getir bagaimana kerasnya perlakuan yang ia dan rekan-rekannya terima. “Setiap kali kami latihan, kalau gerakannya tidak sesuai harapan, kami langsung ditampar, dipukul, bahkan ditinju tanpa ampun,” ujarnya. “Kalau sampai gagal, jatuh saat tampil, begitu turun ke belakang panggung kami dihajar lagi.”
Tak hanya luka fisik, pengalaman itu meninggalkan bekas mendalam dalam bentuk trauma. “Sampai sekarang, saya masih terbawa mimpi. Sosok seperti Pak Yansen dan Frans itu masih membekas di kepala saya,” tutur Bambang dengan suara berat.
Daniel, korban lainnya, menuturkan hal serupa. Ia menyebut setiap kesalahan dalam pertunjukan dibalas dengan kekerasan fisik. “Kalau jatuh saat atraksi, tangan saya bisa digebukin 10 kali. Jatuh lagi, bisa ditambah jadi 20 kali,” katanya.
Kasus ini sebenarnya bukan hal baru. Komnas HAM sempat menangani laporan serupa pada 1997. Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM, Abdul Haris Semendawai, mengatakan lembaganya sudah melakukan investigasi dan menemukan indikasi pelanggaran hak asasi manusia pada masa itu. “Sudah ada rekomendasi yang kami kirimkan ke pihak terkait. Tapi kasusnya kemudian dihentikan atau di-SP3-kan pada 1999,” ujarnya.
Meski begitu, Semendawai menyatakan Komnas HAM kini membuka diri untuk mendalami kembali kasus ini. “Untuk pertemuan yang sekarang, kami menampung dulu. Tapi kami juga akan mempelajari lebih lanjut temuan-temuan baru yang muncul,” katanya.
Cak Sholeh, kuasa hukum para korban, menegaskan bahwa langkah hukum tidak boleh berhenti pada mediasi atau pendekatan kekeluargaan semata. “Kasus ini harus dibawa ke pengadilan HAM. Ini bukan sekadar soal ganti rugi. Ini tentang membongkar kejahatan yang sudah lama dikubur,” tegasnya.
Munculnya kembali kasus ini menyulut perhatian publik. Apalagi dengan kesaksian-kesaksian baru yang makin memperjelas pola kekerasan sistematis di balik industri hiburan yang selama ini dipromosikan sebagai ramah keluarga. Seruan untuk membuka kembali penyelidikan pun menguat, seiring tuntutan agar negara hadir untuk mengusut dan menuntaskan luka lama yang belum sembuh.
Ikuti Kami