Madanika.id, Samarinda — Indonesia kian mantap menempatkan diri sebagai pusat industri kendaraan listrik global. Dengan cadangan nikel laterit terbesar di dunia, negeri ini menjadi magnet baru bagi investor raksasa di sektor baterai dan kendaraan listrik (EV). Sejumlah perusahaan besar seperti CATL, LG Energy Solution, Foxconn, hingga Tesla mulai membenamkan modalnya, bersaing meraih posisi dalam rantai pasok strategis ini.
Transformasi ini tak lepas dari kebijakan larangan ekspor bijih nikel yang berlaku sejak Januari 2020. Pemerintah menyebut lonjakan investasi sebagai hasil dari hilirisasi mineral, yang diyakini mampu mendongkrak nilai tambah nasional. Namun, di balik peningkatan nilai ekspor dan penerimaan negara, pertanyaan mengenai distribusi manfaat mulai mengemuka.
Proyek-Proyek Raksasa, Koalisi Global-Lokal
Hingga pertengahan 2025, sedikitnya enam proyek besar pembangunan ekosistem baterai EV telah berjalan. CATL, perusahaan asal Tiongkok, menggandeng Danantara dan Indonesia Battery Corporation (IBC) untuk mendirikan pabrik baterai senilai USD 6 miliar di Karawang, yang ditargetkan mulai produksi pada 2026. LG Energy Solution dari Korea Selatan juga bermitra dengan IBC dalam proyek serupa di Kawasan Industri Batang.
Di Halmahera Tengah, Huayou bersama Tsingshan dan ANTAM membangun kawasan industri baterai. Sementara Foxconn dari Taiwan dan Hyundai dari Korea Selatan turut memperluas investasinya di Karawang dan Bekasi melalui kemitraan dengan konsorsium nasional.
Vale Indonesia bersama Tsingshan dan MIND ID melanjutkan pengembangan smelter di Pomalaa dan Morowali. Peran BUMN seperti ANTAM, PLN, Pertamina, dan Inalum melalui IBC dan Danantara menegaskan komitmen pemerintah untuk terlibat aktif dalam industri yang dulunya hanya berorientasi ekspor bahan mentah.
Pertumbuhan Ekspor dan Pendapatan Negara
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, nilai ekspor produk nikel olahan meningkat signifikan, dari US$5,93 miliar pada 2022 menjadi US$7,99 miliar pada 2024. Volume ekspor naik dua kali lipat menjadi 1,9 juta ton dalam periode yang sama. Sektor industri pengolahan pun tumbuh 12,24 persen pada 2024.
Dari sisi fiskal, penerimaan negara dari sektor minerba mencapai Rp140 triliun, setara lebih dari setengah Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor energi dan sumber daya mineral. Pemerintah mengklaim lonjakan nilai tambah nikel, yang disebut meningkat dari Rp17 triliun menjadi Rp450 triliun, menjadi pendorong utama pembangunan infrastruktur desa dan program bantuan sosial.
Serapan Tenaga Kerja dan Harapan di Daerah
Kawasan industri baru seperti Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) dan Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) menjadi ladang kerja baru. IWIP melaporkan telah memperkerjakan lebih dari 81 ribu pekerja lokal, dengan lebih dari sepertiganya berasal dari desa sekitar tambang.
Perusahaan seperti Vale Indonesia juga mengembangkan program pemberdayaan ekonomi lokal, seperti pelatihan pertanian organik, pelatihan kerja, hingga penguatan UMKM. Di permukaan, proyek-proyek ini tampak memberi angin segar bagi pembangunan wilayah di luar Pulau Jawa.
Konflik Sosial dan Lingkungan Mengemuka
Namun, pertumbuhan pesat industri ini tidak bebas dari persoalan. Berbagai laporan menunjukkan munculnya konflik agraria akibat pembebasan lahan yang tidak transparan. Petani kehilangan tanah dengan kompensasi minim. Di sisi lain, limbah tambang menyebabkan pencemaran air sungai dan laut, menimbulkan kerusakan ekosistem dan menurunnya hasil tangkapan nelayan.
Penyakit seperti diare dan ISPA juga meningkat di desa-desa sekitar kawasan industri. Di Halmahera Tengah, ekspansi industri disebut menyebabkan masyarakat adat kehilangan hak ulayat akibat tumpang tindih izin lahan.
Manfaat Tidak Merata
Meskipun negara meraih keuntungan fiskal dan tenaga kerja lokal terserap, mayoritas nilai ekonomi tetap terkonsentrasi di tangan pemilik modal. Investor asing menikmati insentif fiskal dan tax holiday, sedangkan masyarakat hanya mengandalkan pendapatan dari upah dan program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).
Dominasi asing dalam penguasaan aset industri juga dikhawatirkan menciptakan ketimpangan struktural yang baru, terutama jika kontribusi pada pembangunan sosial dan lingkungan tidak berkelanjutan.
Kebijakan Pengimbang dan Tantangan Ke Depan
Pemerintah terus berupaya menjaga keseimbangan antara pertumbuhan industri dan keberlanjutan. Larangan ekspor bijih nikel, pembentukan IBC, insentif kendaraan listrik, dan revisi aturan ekspor mineral melalui Permendag 8 dan 9 Tahun 2025 menjadi bagian dari kerangka regulasi tersebut.
Namun, kalangan akademisi dan masyarakat sipil mengingatkan bahwa keberhasilan hilirisasi tidak semata dilihat dari angka ekspor atau investasi, tetapi dari sejauh mana kebijakan ini berpihak pada keadilan sosial dan perlindungan lingkungan.
Peluang Strategis, Risiko Struktural
Dalam waktu singkat, Indonesia berhasil bertransformasi dari eksportir bahan mentah menjadi pemain penting dalam rantai pasok global kendaraan listrik. Namun, tanpa tata kelola yang inklusif dan pengawasan ketat, transformasi ini berisiko melanggengkan ketimpangan sosial dan ekologis.
Pertumbuhan ekonomi nikel bukan hanya soal kemajuan teknologi, tetapi juga tentang bagaimana manfaatnya dibagi—dan siapa yang harus menanggung ongkos sosial dan lingkungan di baliknya.
Ikuti Kami