__temp__ __location__
Semakmur Banner
`
Imam Mahdi dan Mosiach di Balik Perang Iran Vs Israel

Imam Mahdi dan Mosiach di Balik Perang Iran Vs Israel

Oleh Muhammad Kholid Syaifullah (Penggemar Politik Iran)  

Kalau kita bicara soal konflik Iran–Israel, biasanya yang muncul di kepala adalah rudal, drone, dan ancaman nuklir. Tapi ada satu hal yang sering luput dibahas: bahwa perang ini bukan cuma soal kekuasaan dan geopolitik, tapi juga soal iman dan harapan akan akhir zaman.  

Saya sudah 3 tahun ini mengikuti politik Iran. Dikarenakan saya tertarik bagaimana negara ini meramu agama, ideologi, dan strategi global jadi satu paket yang kadang bikin dunia ketar-ketir, dan salah satu bagian yang paling menarik adalah peran Imam Mahdi dalam cara berpikir negara itu.  

Iran tidak memandang dirinya sebagai negara biasa. Mereka menganggap Republik Islam sebagai proyek ilahi yang sedang mempersiapkan dunia untuk kedatangan Imam Mahdi sang penyelamat akhir zaman versi Syiah Dan dalam narasi itu, Israel sering dianggap sebagai penghalang utama.  

Iran dan Imam Mahdi: Akhir Zaman Bukan Sekedar Cerita  

Bagi kalangan Syiah, Imam Mahdi adalah Imam ke-12 yang sedang “ghaib” dan akan muncul kembali di akhir zaman untuk melawan ketidakadilan global. Yang menarik, kepercayaan ini bukan cuma diajarkan di madrasah tapi juga masuk ke militer, politik luar negeri, bahkan strategi pertahanan negara.  

Bahkan dalam sebuah laporan dari Iran International (2024), bahwa Garda Revolusi Iran (IRGC) pernah menggelar upacara sumpah setia kepada Imam Mahdi di Masjid Jamkaran, yang diyakini sebagai titik komunikasi spiritual dengan sang Imam. Panglima IRGC, Hossein Salami, bahkan menyebut tentaranya sebagai "pasukan Mahdi yang sedang menyiapkan jalan".  

Bukan sekadar seremoni. Banyak kebijakan luar negeri Iran, mulai dari dukungan terhadap Hizbullah di Lebanon, kelompok Houthi di Yaman, hingga Hamas di Palestina, dijelaskan oleh para pejabat Iran sebagai bagian dari “poros perlawanan” dalam narasi jihad kosmis  

Media konservatif seperti Kayhan menyebut konflik-konflik di Timur Tengah sebagai “tanda zaman” menuju kemenangan akhir. Bahkan lagu seperti “Salam Ya Mahdi” bukan sekadar musik, tapi jadi mars militan Basij dan IRGC di kamp-kamp pelatihan generasi muda Iran  

Israel dan Moshiach: Ketika Politik Jadi Kitab Suci  

Di sisi lain, Israel juga tidak sepenuhnya sekuler. Walaupun negara ini modern dan plural, sebagian kelompok religius terutama dari Zionis religius meyakini bahwa Moshiach (Mesias Yahudi) akan datang setelah bangsa Israel kembali ke Tanah yang Dijanjikan   

Buat mereka, kemenangan Perang Enam Hari 1967 bukan cuma sukses militer. Itu adalah sinyal dari langit. Bahkan, banyak rabbi dari sekolah Mercaz HaRav melihat penaklukan Yerusalem sebagai langkah menuju pembentukan kerajaan mesianik.  

Beberapa tokoh politik Israel pun pernah menyisipkan simbol-simbol kitab suci dalam momen penting. Misalnya, Benjamin Netanyahu, sebelum operasi militer ke Suriah dan Gaza, menuliskan ayat Bilangan 23:24 di Tembok Ratapan: “Israel akan bangkit seperti singa”. Media seperti Haaretz menyoroti bagaimana tindakan ini memberi aura spiritual pada operasi militer   

Kelompok pemukim seperti Gush Emunim dan Lehava menganggap proyek permukiman Yahudi sebagai perintah langsung dari Tuhan. Dalam beberapa konferensi sayap kanan, narasi ini bahkan disandingkan dengan penantian datangnya Bait Suci Ketiga   

Ketika Dua Narasi Akhir Zaman Saling Bertabrakan  

Yang menarik (dan jujur saja menegangkan), dua negara ini sama-sama merasa sedang menjalankan misi ilahi, dan musuh mereka adalah “pihak akhir zaman”.  

Iran melihat Israel sebagai simbol taghut (penguasa zalim) sekaligus penghalang utama persatuan dunia Islam. Di sisi lain, kalangan Yahudi religius melihat dunia Arab termasuk Iran sebagai kekuatan Gog dan Magog seperti disebutkan dalam Kitab Yehezkiel (Yehezkiel 38–39), ancaman yang akan menyerang Israel menjelang datangnya Mesias.  

Ketika keyakinan seperti ini meresap ke dalam kebijakan, maka kompromi jadi sulit. Sebab kompromi bukan hanya urusan politik, tapi bisa dianggap sebagai pengkhianatan terhadap nubuatan Tuhan.  

Imajinasi Eskatologis sebagai Politik Luar Negeri  

Dari sisi filsafat sejarah, narasi seperti ini disebut teleologi apokaliptik, yaitu cara berpikir yang menganggap sejarah bergerak menuju satu akhir yang sudah ditentukan. Biasanya, dalam narasi semacam ini, kita selalu jadi bagian dari yang “dipilih”, sementara yang lain jadi bagian dari yang “akan dihancurkan”.  

Narasi ini memberi semangat, tapi juga menciptakan polarisasi yang dalam. Siapa pun yang menolak perang bisa dianggap “tidak setia pada takdir”. Dan itu bukan cuma terjadi di Iran. Di Israel, kelompok ultra-ortodoks yang anti-negosiasi sering memanfaatkan retorika “Tuhan melarang menyerahkan tanah warisan”.  

Damai: Mungkin, Tapi Sulit  

Meski begitu, kita juga tidak boleh lupa bahwa tidak semua rakyat Iran dan Israel berpikir seperti para elite religio-politik mereka. Banyak anak muda Iran yang lebih suka mendengarkan rap underground daripada khutbah Mahdawi. Banyak warga Israel yang lebih ingin hidup berdampingan ketimbang menunggu Mesias.  

Namun, karena narasi-narasi akhir zaman ini sering didorong dari atas dari negara, dari partai, dari institusi agama maka pengaruhnya tetap kuat. Terutama saat konflik memuncak, dan masyarakat butuh makna atas penderitaan.  

Konflik Israel–Iran adalah gambaran paling nyata tentang benturan antara dua dunia simbolik. Imam Mahdi di satu sisi, Moshiach di sisi lain. Keduanya belum datang, tapi para pengikutnya sudah saling mengirim roket dan kutipan kitab suci.  

Sebagai penggemar politik Iran, saya paham betul daya tarik narasi besar seperti ini. Tapi saya juga percaya bahwa dunia tidak harus kiamat dulu untuk menjadi lebih baik. Kadang yang dibutuhkan hanyalah keberanian untuk mematahkan narasi lama, dan menulis ulang cerita yang lebih manusiawi di mana Tuhan tidak dipakai sebagai dalih untuk membakar bumi.  

Surat Kecil Dari Mahasiswa Kalimantan Timur Untuk Presiden dan Wakil Presiden Terpilih Republik Indonesia
Surat Kecil Dari Mahasiswa Kalimantan Timur Untuk Presiden dan Wakil Presiden Terpilih Republik Indonesia
BORNEO GARIS TENGAH: Menjadi Poros, Menjadi Penentu dan Menjadi Masa Depan Bangsa
BORNEO GARIS TENGAH: Menjadi Poros, Menjadi Penentu dan Menjadi Masa Depan Bangsa

Leave a comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *