Indonesia dikenal sebagai negara dengan cadangan batu bara melimpah. Namun, di sisi lain, Indonesia masih sangat bergantung pada impor Liquefied Petroleum Gas (LPG), yang sekitar 75% kebutuhannya dipenuhi dari luar negeri. Ketergantungan ini menyebabkan beban anggaran negara membengkak akibat biaya impor dan subsidi LPG yang mencapai puluhan triliun rupiah setiap tahunnya.
Sebagai solusi, Presiden Joko Widodo sejak 2016 telah mendorong program konversi batu bara menjadi Dimetil Eter (DME) sebagai alternatif LPG. Realisasi proyek ini dimulai dengan peletakan batu pertama (groundbreaking) pada 24 Januari 2022 di Tanjung Enim, Sumatera Selatan. Proyek ini juga ditetapkan sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) melalui Perpres No. 109 Tahun 2020.
Pemerintah memperkirakan bahwa substitusi LPG dengan DME secara bertahap dapat menghemat subsidi energi hingga Rp7 triliun per tahun di tahap awal, dan berpotensi menekan beban APBN hingga Rp60–70 triliun per tahun dalam jangka panjang. Di samping itu, proyek ini diharapkan mampu menciptakan lapangan kerja dan memperkuat neraca perdagangan nasional.
Proses Konversi Batu Bara Menjadi DME
Konversi batu bara menjadi DME dilakukan melalui proses gasifikasi, di mana batu bara diubah menjadi gas sintetis (syngas), lalu menjadi metanol, dan akhirnya diolah menjadi DME dengan bantuan katalis. DME merupakan gas cair bertekanan yang memiliki sifat fisik dan kimia serupa LPG, sehingga dapat digunakan sebagai bahan bakar rumah tangga atau industri.
Secara teknis, DME dapat digunakan dengan infrastruktur LPG yang sudah ada, terutama dalam campuran 20% DME dan 80% LPG tanpa memerlukan modifikasi besar pada kompor. Namun, untuk penggunaan DME murni, diperlukan penyesuaian pada burner dan karet seal kompor agar aman dan efisien.
Manfaat Strategis DME
Mengurangi Ketergantungan Impor
Penggunaan DME berbasis batu bara domestik secara langsung menekan ketergantungan impor LPG dan beban subsidi energi.Optimalisasi Sumber Daya Lokal
Batu bara kalori rendah yang selama ini kurang diminati pasar internasional dapat dimanfaatkan di dalam negeri, menambah nilai ekonomi nasional.Penciptaan Lapangan Kerja
Proyek DME seperti di Tanjung Enim diperkirakan menyerap lebih dari 12.000 tenaga kerja langsung dan tidak langsung.Lingkungan Lebih Bersih
DME menghasilkan pembakaran yang lebih bersih daripada LPG: tanpa asap hitam, nyaris nol emisi sulfur dan NOx, serta dapat menurunkan emisi COâ‚‚ sekitar 20%.
Proyek Strategis Tanjung Enim dan Kolaborasi
Proyek DME Tanjung Enim dilaksanakan oleh PT Bukit Asam (PTBA) bersama Pertamina dan mitra teknologi-investor asal AS, Air Products. Proyek ini dirancang mengolah 6 juta ton batu bara per tahun untuk menghasilkan 1,4 juta ton DME, cukup menggantikan 1 juta ton LPG per tahun.
Namun, pada Februari 2023, Air Products mundur dari proyek karena persoalan keekonomian. Sejak itu, pemerintah bersama PTBA menjajaki mitra baru, termasuk perusahaan asal Tiongkok seperti East China Engineering Science & Technology (ECEC), meski hingga pertengahan 2025 belum ada kepastian investasi baru. Target penyelesaian proyek pun mundur ke akhir 2027.
Dukungan Kebijakan dan Keterlibatan Swasta
Pemerintah telah memberikan insentif fiskal, seperti tarif royalti 0% untuk batu bara yang diolah di dalam negeri. Pertamina dilibatkan sebagai pembeli (off-taker), dan investor asing diajak terlibat dalam pendanaan serta transfer teknologi. Skema pembiayaan inovatif, termasuk melalui sovereign wealth fund (SWF), juga mulai dipertimbangkan.
Tantangan Ekonomi dan Teknis
Biaya produksi DME saat ini berkisar US$900–980 per ton, jauh lebih tinggi dari LPG impor yang sekitar US$600 per ton. Tanpa subsidi, DME sulit bersaing secara harga. Kebijakan royalti 0% pun menuai kritik karena bisa mengurangi penerimaan negara.
Secara teknis, distribusi DME juga memerlukan penyesuaian pada infrastruktur seperti tabung, depot, dan kompor. DME bersifat lebih korosif terhadap material tertentu sehingga memerlukan modifikasi.
Selain itu, keberhasilan proyek bergantung pada kepastian pasar. Pertamina sebagai off-taker harus menunjukkan komitmen jangka panjang. Pemerintah juga perlu memastikan serapan pasar lewat kebijakan campuran DME ke LPG atau penugasan khusus kepada BUMN.
Prospek dan Kesimpulan
Hilirisasi batu bara menjadi DME adalah langkah strategis menuju ketahanan energi dan kemandirian nasional. Proyek ini membuka peluang besar, namun tidak lepas dari risiko ekonomi, teknologi, dan pasar. Keberhasilan proyek Tanjung Enim akan menjadi tolok ukur bagi pengembangan DME di daerah lain.
Pemerintah perlu menjaga konsistensi kebijakan, mempercepat pencarian mitra strategis, dan memastikan kesiapan infrastruktur serta pasar. Kolaborasi erat antara pemerintah, BUMN, dan swasta menjadi kunci utama.
Dengan perencanaan matang dan eksekusi tepat, Indonesia dapat mengubah batu bara dari komoditas mentah menjadi sumber energi masa depan, menjawab tantangan sekaligus membangun kedaulatan energi bangsa.
Ikuti Kami